SUDAH lebih satu bulan kebakaran lahan dan hutan belum juga padam di Provinsi Riau. Bahkan semakin meluas wilayah yang terdampak kabut asap. Banyak maskapai penerbangan membatalkan pendaratan di Bandara Sultan Syarif Kasim II di Pekanbaru dan mengalihkannya ke Bandara Hang Nadim, Batam.
Ribuan penumpang mengeluh mereka tidak bisa terbang langsung dari Pekanbaru dan harus menuju ke Batam terlebih dahulu. “Biaya bertambah banyak karena kami harus ke Batam baru terbang ke Jakarta,“ ujar Rusli, salah satu penumpang pesawat yang telantar akibat ditutupnya bandara. Di tengah masyarakat menanggung penderitaan akibat asap, jumlah titik api di sejumlah wilayah terus bertambah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menginformasikan lonjakan titik api pertanda terjadi kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah daerah pun lamban merespons lonjakan jumlah titik api.
Bahkan saat kebakaran besar menghanguskan 500 hektare kebun sagu milik PT Nasional Sagu Prima (NSP) pada Kamis (31/1), Pemprov Riau masih menganggap itu hal biasa.
“Kami tidak bisa berbuat apa-apa.
Jika ingin bertindak, harus ada dana, sedangkan dana cadangan sebesar Rp10 miliar itu baru bisa dicairkan bila telah ditetapkan status tanggap darurat bencana yang disetujui minimal tujuh dari 12 kabupaten dan kota di Riau,“ kilah Gubernur Riau Annas Maamun saat rapat bersama Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Pekanbaru, Kamis (6/3).
Politikus Partai Golkar yang telah berusia 74 tahun itu menambahkan, status tanggap darurat akhir ditetapkan pada Rabu (26/2). Ketika itu, indeks standar pencemaran udara (ISPU) di tujuh kabupaten/kota telah menunjukkan status berbahaya dan tidak sehat.
Namun, masalah utamanya kebakaran hutan dan lahan tersebut terjadi setiap tahunnya. Bahkan nyaris tidak ada aktor utama yang diseret ke meja hijau dengan hukuman cukup berat. Hampir semua yang disidang ialah orang-orang suruhan dengan vonis yang cukup ringan.
Efek hukum bagi para pelaku pembakaran lahan tidak nendang. Tidak sedikit pelaku pembakaran lahan dan hutan lolos dari hukuman.
Dari pengakuan jaksa penuntut umum Banu Laksamana, ada beberapa masalah yang dihadapi para penegak hukum dalam menjerat para pelaku.
“Sebetulnya kami menjerat para pembakar hutan dan lahan bukan dengan KUHP, melainkan memakai pasal berlapis dari Undang-Undang Kehutanan, Perkebunan, dan Lingkungan Hidup. Maksimal hukumannya bisa mencapai delapan tahun penjara,“ kata Banu, Minggu (23/3).
Saat ini Banu menangani proses sidang kasus pembakaran hutan dan lahan PT Adei Plantation. Sidang sudah memasuki tahapan mendatangkan saksi ahli dari IPB.
Menurutnya, proses hukum para pembakar hutan dan lahan telah masuk pada perkara khusus seperti pada kasus tindak pidana korupsi. Seharusnya, sesuai dengan UU Kehutanan, persidangan kasus kejahatan lingkungan harus ditangani hakim ad hoc yang menguasai penuh masalah kehutanan, perkebunan, lingkungan hidup, dan pembakaran hutan dan lahan.
Ia mencontohkan dalam kasus PT Adei Plantation, pihaknya akan menuntut dengan hukuman seberat-beratnya. “Sama seperti korupsi. Siapa yang merusak harus dimiskinkan. Saksi ahli akan menghitung besar kerugian yang ditimbulkan akibat kerusakannya itu. Hasil perhitungan akan didendakan kepada terdakwa,“ ujar Banu.
Riko Kurniawan dari Walhi Riau menunjuk kasus PT Adei Plantation, perusahaan sawit yang sudah berulang kali terjerat kasus serupa. Dalam catatan Walhi, perusahaan asal Malaysia itu pernah divonis selama empat tahun penjara pada persidangan 2003-2004, atas kasus pembakaran hutan dan lahan.
“Terdakwa Direktur perusahaan PT Adei Plantation, Gobi, yang diadili secara in absentia divonis empat tahun penjara. Tapi, yang bersangkutan menghilang dan vonis hukuman yang dijatuhkan pengadilan menguap begitu saja,“ papar Riko.
(BG/RK/N-3/MEDIA INDONESIA,26/03/2014,HAL : 22)